RWC #5 Write a letter to someone you have wronged, asking for forgiveness during this holy month.

Sebenarnya masih berpikir, Khilaf saya yang paling membekas di orang lain itu yang mana, apakah saya sadar kalau akan khilaf dan membekas di hati dan pikiran orang tersebut? Saya tidak tau apa dan kepada siapa? Duduk perkaranya ini , saya menganggap prompt ini adalah bentuk kesalahan besar. Jadi sekali lagi, saya tidak tahu apa dan siapa. Apakah memiliki kehamapaan atas rasa ini bentuk pencapaian dalam ketenangan hidup? bagaimana rasanya ya memendam fikiran bersalah sepanjang hidup sampai untuk minta maaf harus nulis di medium ini? Atau bisa jadi ini sekali lagi ada lah refleksi diri, gara-gara prompt di hari ke 5 ini saya emang berusaha mengingat ingat, apakah saya pernah jadi pelaku tabrak lari? apakah saya jadi tukang hutang yang gk ada daya upaya untuk membayar hutang sehinga harus minta maaf? atau saya melarikan rezeki anak yatim?

Menyimpan rasa bersalah berlarut – larut sepertinya memang tidak nyaman, hebat bagi barangsiapa yang punya rasa kebal hati sehingga tidak merasa perlu minta maaf atau ya bisa melupakan begitu saja. Mudah-mudahan saya bukan bagian dari itu.


Demikian

I’m still pondering which of my past mistakes left the deepest impression on others. Was I aware of how my misstep affected their hearts and minds? I can’t recall the specific incident or who was involved. Facing this question, I realize how big of a mistake it was to forget the people and events that made such a lasting impact.

I wonder if acknowledging my mistake and its impact on others is a way to find inner peace. What does it feel like to carry the burden of guilt for so long that you have to apologize in a public forum? Or perhaps, this prompt is a self-reflection. On the fifth day of this writing exercise, I’m trying to remember if I’ve ever been involved in a hit-and-run accident, been unable to repay my debts, or taken advantage of an orphan’s wealth.

It’must be so uncomfortable to hold onto feelings of guilt for too long. Idont know Some people are like numb enough to have a strong heart that makes them immune to guilt and the need to apologize. I hope I’m not one of those people.

Let’s learn from our mistakes and strive to be better versions of ourselves every day.

RWC #4 Share your experience of breaking your fast with friends and family

Ada suatu kesimpulan immature yang bisa saya gelorakan di awal tulisan ini, tentang kalimat “The older you are the smaller your circle is” begitu juga punya relevansi untuk Berbuka-puasa-bareng, semakin tua anda semakin jarang acara bukber yang anda (ingin) ikuti. Mudah-mudahan banyak yang mengamini. Untuk prompt ke 4 untuk RWC ini saya baru baca sore tadi, jadi sedari buka puasa-taraweh, disela-selanya udah ada lah terpikir kerangka mau nulis apa nantinya untuk menjawab judul postingan ini.

Saya mencoba membuat segmentasi periode hype buka puasa ini menjadi tiga lah, pertama pre college-college and early professional-new familiy. Semoga bisa dapat terceritakan dengan sama porsi nya untuk masing masing.

Fase B : Pre collegue : ini kayaknya jadi masa, orang yang paling banyak dateng / dapat undangan bukber berarti orang yang (dianggap) paling supel di pergaulan, Supel yang bisa masuk kemana mana, sampai kalau di bukber bisa heran orang “loh kok lu ada di bukber ini?” – “iya gue kan temenan ama si A, atau gue kan bagian / sempat bagian dari kelompok si C” . Ini Zaman mungkin jadi yang paling durhaka sebagai anak, karena bisa jadi 30 hari buka puasa , hampir setengah nya menyempatkan untuk buka puasa di luar rumah , tak mencicipi masakan orang tua, ini masa masa pas kelas 3 SMP , hingga kelas 2 SMA. Kalau saya mau perinci daftar acaranya seperti ini , bukber tempat les (ada kelas les matematika,kelas les bahasa inggris) , bukber pesantren ramadan, bukber inner circle temen2 deket pesantren ramadan, bukber kelas SMP, bukber kelas SMP sekaligus reuni, BUkber angkatan SMP pas lagi SMA, bukber kelas SMA, bukber calon teman se almamater pas lagi SMA, pun belum ditambah bukber teman sekelas SMA sewaktu kelas 1 pas lagi kelas 2, bukber panitia buku tahunan, bukber inner circle pertemanan yang dari SMP pas udah SMA. Begitu, saya merasa exhausted sebenarnya bahwa punya energi untuk berelasi dan ikut ina itu di masa tersebut.

Fase B : Collegue and Early Professional : Masa perantauan, singkatnya frekuensi bukber yang saya dapatkan di masa sekolah bisa dibilang kalah jauh, di masa ini saya bisa lakukan bukber hampir tiap hari baik itu direncanakan, atau accidental. saya mendefinisikan bukber ini yaitu : buka puasa di luar rumah, tidak dengan keluarga. Keluarga di kampung, ya pasti bukber nya tiap hari lah, yang paling sering bukber di kantor atau kampus , zaman kuliah bukber pastinya lebih sering di kantin kampus atau di kafe tempat kos kosan , setidak nya ppasti ada 1 atau 2 teman jadi partner berbuka puasa, zaman kerja mungkin 1/3 ramadan habis di kantor, bukber sekaligus reunian dengan teman sekolah yang ada di jakarta untuk 2-3 circle yang berbeda, bukber dengan anak-anak kosan, bukber dengan teman kuliah sekalian reuni., atau bukber dengan penumpang kereta. Namun yang paling berkesan di masa ini , saya berkesempatan untuk eksplorasi buka puasa di tempat yang tak pernah saya pikirkan pas sekolah atau kuliah, sebelumnya bukber itu dahulu saya memandang ya makan di kafe/kantin/resto/ atau ya pinggir jalan, Perlahan saya mendapatkan bahwa di jakarta ada tempat yang selalu dijamin ada acara bukber dan itu gratis yaitu masjid masjid di pusat kota atau di pusat perniagaan. Hal ini menjadi menarik karena ya saya berbuka puasa dengan stranger yang mungkin seperjuangan abis pulang kantor, masih pada lajang yang gk ada undangan bukber dari teman dan memilih bukber di mesjid, selanjutnya karena eksplorasi ini juga saya mendapatkan masjid2 yang ada di mall mall besar itu kalau bukber itu di gedung parkir, dan kadang makanannya enak enak. Sempat di platform twitter saya buat utas tentang tips dan trik untuk menemukan buka puasa gratis di jakarta dengan hunting di mesjid-mesjid besar dan tempat parkir mobil di mall yang dadakan jadi tempat salat dan buka puasa. Walau memang tak se intimate dan se euforia di masa sekolah, saya menemukan banyak hal baru dan menyenangkan disini, kebebasan memilih, tak ada cut-off-time waktu pulang, bebas mau pulang jam berapa toh juga gk ada siapa siapa di kosan, dan bisa berhemat. Demikian

Fase C : New Family : Saya yakin ada hikmah dari kenapa tuhan menciptakan kehidupan itu naik turun atau berputar seperti Roda. Fase A yang penuh histerai dan euforia dilanjutkan denga fase B yang berarti kebebasan, Kontras tak akan ditemukan di fase C, tak lagi bebas, tak lagi penuh euforia mengedar sana sini. Kalau di fase ini saya mempersingkat dengan terminologi “Intimate”, ini fase yang kalo bisa buka puasa itu ya harus di rumah, kalo perlu pulang cepat , atau mulai selektif dalam memilah jikalau ada ajakan buka puasa di luar. Intimate ini kan erate dengan tenang, dekat, dan penuh makna. Ya ini yang saya dapatkan, mungkin ini seperti siklus yang berulang jikalau ada Fase sebelum A , fase anak anak, yang memang cuma tau buka puasa itu sama keluaga , bedanya pas fase anak anak tak merasakan ada effort, sudah given kalau buka puasa ya sama mama papa, di dalam rumah, belum ada undangan,kalau di fase C ini given berubah dengen determination, berusaha untuk menghadirkan apa yang seharusnya termakna dalam kata intimate tersebut.


Tebet, 22:05 WIB
oh ya hari ini saya coba modif sepeda untuk meningkatkan faktor keamanannya

RWC #3 Describe the spiritual benefits of fasting and how they affect your daily life

Siang hari ini, saya mencari dan mengingat kembali tulisan tentang bulan Ramadan dari ZenRS. Saya memulainya dengan mencari menggunakan kata kunci “blog ZenRS” dan “Puasa”. Namun, ternyata kata kunci tersebut tidak cukup, karena banyak sekali tulisan Zen tentang puasa dan Ramadan. Beberapa saat kemudian, saya terpikir untuk menambahkan kata kunci “PAUSA” pada mesin pencarian dan akhirnya saya menemukan tulisan Zen yang memaknai bulan puasa sebagai momen untuk melambatkan tempo dari rutinitas sehari-hari. Saya membaca tulisan ini satu tahun yang lalu dan sangat senang dapat menemukannya kembali tahun ini. Tulisan tersebut sangat indah, rapi, dan enak dibaca serta dimaknai. Bagi yang penasaran, silakan mencari dengan tiga kata kunci yang telah disebutkan.

dilalah, sebenarnya saya belum mengecek apa topik untuk hari ke tiga, eh ternyata Cerita pencarian saya sebenarnya berkaitan! Jadi sudah bisa lah ini saya masukkan intro dalam tulisa di hari ke 3, s

Mencoba menjawab pertanyaan di hari ke 3, ketika saya berpikir lebih dalam, saya menyadari bahwa bulan Ramadan merupakan momen yang tepat untuk melakukan self-talk, yaitu merefleksikan diri dan bertanya pada diri sendiri apakah saya sudah cukup atau justru terlalu banyak mengejar hal-hal duniawi selama sebelas bulan terakhir. Ketika berlari dengan pace yang cepat, saya tidak memiliki banyak waktu untuk berpikir atau berbicara dengan diri sendiri. Namun, ketika pace mulai melambat, baru ada momen untuk membicarakan hal-hal tersebut dengan diri sendiri. Inilah alasan mengapa saya sangat menghargai bulan Ramadan karena momen ini memberikan kesempatan untuk lebih memahami diri sendiri. Kitab suci manusia menunjukkan bahwa kesadaran diri sangat penting sebelum melakukan ibadah puasa. Bahkan, terdapat perintah untuk memanggil orang yang beriman terlebih dahulu sebelum melakukan ibadah puasa pada bulan Ramadan. Menurut saya, ini menunjukkan bahwa orang yang berencana untuk melakukan ibadah puasa harus terlebih dahulu menyatakan kepercayaannya dan melakukan self-evaluation untuk memahami lebih dalam tentang dirinya sendiri.

Momen self-talk yang terjadi selama bulan Ramadan dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk melakukan self-assessment. Seperti tes psikologi populer saat ini, MBTI, self-assessment dapat memberikan gambaran tentang kelemahan dan kekuatan yang dimiliki seseorang. Dengan melakukan self-assessment selama bulan Ramadan, kita dapat membuat ringkasan singkat tentang apa yang salah selama ini dan apa yang perlu diperbaiki mulai dari bulan Ramadan ini. Saya menyebutnya “mulai” karena saya berharap agar tindakan ini dapat dilanjutkan setelah bulan Ramadan berakhir.



Begitu

OOT – 2 hari puasa ini saya memang diuji sebagai seorang Bapak dalam konteks manajemen kesabaran, perihal mencoba memberikan asupan nutrisi ke anak, entah masih jadi teka teki, bagaimana pola yang baik , karena 2 hari terakhir ini gk pernah berhasil menyuapkan makan, selalu ditolak, kadang saya reaktif dan menahan teriak, Ampun . Semoga saya bisa terus beradaptasi,

Kamar Tebet | 21:28 WIB

English version with the help of AI

oday, I spent my afternoon searching for and reminiscing about ZenRS’s writing on Ramadan. I started by using the keywords “ZenRS blog” and “fasting,” but it turns out those keywords weren’t enough, as Zen has written extensively about fasting and Ramadan. After a few moments, I thought to add the keyword “PAUSE” to the search engine, and finally, I found Zen’s writing that interprets the month of fasting as a moment to slow down from our daily routines. I read this article a year ago and was thrilled to find it again this year. The writing is beautifully written, organized, and meaningful. For those who are curious, please search using the three keywords mentioned.

Interestingly enough, when I was contemplating what to write for day 3, I realized that my search story was related. So, here’s my intro for my day 3 entry.

As I reflect on day 3’s prompt, I realize that Ramadan is a perfect time for self-talk, reflecting on ourselves, and asking if we have been pursuing too many worldly things or if we have been content with what we have achieved so far. When running at a fast pace, there’s not much time to think or talk to oneself. However, when the pace starts to slow down, that’s when we have a chance to discuss these things with ourselves. This is why I appreciate Ramadan so much because it provides an opportunity for self-discovery. The holy book of humans shows that self-awareness is crucial before fasting. In fact, there is an instruction to call the faithful before starting the fast in Ramadan. To me, this shows that those who plan to fast must first declare their faith and perform self-evaluation to understand themselves better.

The self-talk that happens during Ramadan can serve as a starting point for self-assessment. Like the popular psychological test today, MBTI, self-assessment can provide an overview of one’s strengths and weaknesses. By doing a self-assessment during Ramadan, we can make a brief summary of what went wrong and what needs to be improved starting from this Ramadan month. I call it “starting” because I hope that this action can continue after Ramadan ends.

RWC #2 Write about your favorite traditional Ramadan dish and the memories associated with it.

Sebelum merinci mengenai makanan favorit sewaktu Ramadan, Tak ada salahnya saya menceritakan sebuah culture shock metode berbuka puasa saat Ramadan sebelum dan setelah tinggal dengan keluarga baru. Selama 27 tahun saya terbiasa dengan metode bebuka puasa yang kalau suda h beduq azan, minum air (bisa normal atau dingin) lsg salat magrib lalu langsung makan makanan berat, begitu terus berulang setidaknya di 20 kali siklus ramadan yang saya ingat. Setelah memiliki keluarga baru, metode buka puasa yang saya ceritakan di atas, menjadi sangat asing. Kenapa? kelak saya mengetahui , ternyata orang sini berbuka puasa itu bisa dibuat dalam 3 babak, “ringan-medum-berat” dan diantara itu ada jeda yang cukup panjang. Deskriptif dan kronologi nya seperti ini, berbuka denga nair/manis mani, lalu gorengan, seterus nya solat magrib lalu jeda lagi 10 menit untuk menghabis kan gorengan/takjil yang belum sempat diicip, baru salat isya, lalu barulah makan berat 20-40 menit setelah itu jika salat isya langsung diikuti dengan tarawih. Perlu lama waktu untuk beradaptasi bagi saya untuk siklus buka puasa seperti ini, namun usaha untuk beradaptasi ini sepertinya bisa saya anggap tidak/belum berhasil, karena bagi saya buka puasa itu ya langsung hajar dengan makan besar , nasi + lauk pauk, tak sanggup llah menunggu 1-1,5 jam pasca bedug. Bisa pusing kepala jia ini lambung tak segera diisi dengan karbo “Nasi”

Menjawab challenge di hari kedua, saya punya banyak, tapi yang sudi saya tulis dan dokumentasikan tentu saja apa yang dibuat oleh mama saya di masa saya berpuasa di Kota Padang , 10 kali puasa lah. Mama saya memang tak ahli dalam memvariasikan makanan, apalah itu makan nala2 restoran yang munkin mama saya baru tau ada nama untuk masakan tersebut, atau ada metode cara memasak lain untuk satu menuk lauk. Cukup menggoreng ayam/ikan atau membuatkan sup “japan” (rebung kalau orang sini bilang), tentu goreng2an lauk pauk ini, mama saya sangat istiqomah dengan meng-lado-kan semua nya dengan cabe merah khas. Begitujga minuma, mama saya punya signature drink yang sebenarnya menu ini sangat accessible di jualan2 takjil pinggir jalan ; “AIR BUAH” kami menamakannya, walau akhirnya setelah merantau saya baru sadar istilahnya iut “SOp BUAH” , yang menarik dari sop buah buatan mama saya ini, variasi buah potong nya itu amat lah sangat random, jika mama mood nya sedang baik, aka banyak vasiasi potongn nanas, semangka, dan melon di dalam nya, namun jika sebaliknya, seisi rumah dibuatkan air buah dengan 100 persen isinya hanya potongan pepaya, ampuuun!, melihat air buah dengan menu “hanya” potongan pepaya meruntuhkan nafsu ingin menhilangkan dahaga . “Makanlah aia buah tu,,, sehat ma, pepaya!”

Saya tak punya foto makanan mama saya, jadi tak bisa saya bagi, begitujuga masa2 berbuka puasa di padan selama 10 tahun saya menjalankan ibadah puasa secara beruturut2, tidak jarang foto, karena kami memang menghabiskan waktu berbuka puasa di rumah, di tempat yang berbeda–beda, ada yang di meja makan, ada yang depan tivi bahkan ada yang di kursi ruang tamu. Tapi saya mau re-share kembali tulisan saya di blog ini yang ada juga relevansi nya dengan judul RWC #2 kali ini

https://mozaicofmo.wordpress.com/2017/11/19/seni-kupasan-mangga-seorang-ibu/


English Version with the help of AI :


Before I dive into my favorite Ramadan foods, let me share a culture shock experience I had with breaking the fast during Ramadan before and after living with a new family. For 27 years, I was accustomed to breaking my fast immediately after the call to prayer by drinking water (either normal or cold), performing Maghrib prayer, and then eating a heavy meal, repeating this cycle at least 20 times during Ramadan. However, after living with a new family, the way of breaking the fast that I described above became very unfamiliar. I later learned that people here break their fast in three stages, “light-medium-heavy,” with long breaks in between. Here’s a descriptive and chronological breakdown: break fast with sweet drinks/snacks, then fried foods, followed by Maghrib prayer, then another 10-minute break to finish the snacks that haven’t been eaten, perform Isha prayer, and finally, have a heavy meal 20-40 minutes later. It took me a long time to adapt to this way of breaking the fast, but my efforts to adapt seem to have failed because, for me, breaking the fast means eating a big meal right away, rice with side dishes, and I can’t wait 1-1.5 hours after the call to prayer. My head spins if my stomach isn’t filled with rice immediately.

To answer on the tittle on the second day, I have many options, but I will document what my mom made during my fasting days in Padang City, which lasted for 10 Ramadan cycles. My mom is not an expert in varying her dishes, whether it’s a dish from a restaurant or a different method of cooking for one dish. It was enough to fry chicken/fish or make “japan” soup (bamboo shoots, as the locals call it). Of course, these fried side dishes were always smothered in her signature red chili sauce. As for drinks, my mom’s signature drink is called “AIR BUAH,” which is actually a very accessible drink sold by street vendors during the break fast time. However, what’s interesting about my mom’s fruit juice is that the variety of fruit cuts is very random. If my mom is in a good mood, there will be a lot of pineapple, watermelon, and melon slices in it. But if she’s not in the mood, everyone in the house will get a drink that’s 100% made of papaya slices. Seeing a drink with “only” papaya slices in it crushes my thirst for hydration. “Eat the papaya, it’s healthy!”

Unfortunately, I don’t have any pictures of my mom’s food, so I can’t share them with you. During the 10 years that I fasted consecutively in Padang, we often took pictures because we spent our break fast time at home, in different places such as the dining table, in front of the TV, and even in the living room chairs.

RWC #1 What are some of the challenges you face during fasting month and how do you overcome them?

Saya memang sebenanrnya sudah sangat terbiasa dengan puasa puasa ini, apalagi di tahun 2013-2015 lagi jaman2 nya diet yang dipopulerkan oleh pesulap botak, saya sah sah aja sebanrnya untuk tidak makan selama 23 jam, makan sekali sehari di siangnya, tentu diselingin dengan minum. Pun saya malah memang menjadikan puasa beneran sesuai rukunnya sebagai “wahana” untuk menjalankan program diet tersebut, dengan hanya sekali makan pas berbuka di maghrib. Selanjutnya puasa memang tak menjadi penghalang lah bagi saya untuk beraktifitas fisik, gk jarang juga saya melakukan aktifitas lai pagi setelah sahur selama 30 menit, dan lari sore menjelang berbuka, tidak mengalami keluhan yang signifikan sih untuk masalah tetap berolahraga di bulan Ramadan. Jadi setidaknya sudah terjawab tantangan secara fisik bukan menjadi tantangan yang saya hadapi di Ramadan.

Sebagai jawaban atas judul, tantangan yang saya hadapi secara general di waktu bulan Ramadan adalah ke istiqomahan, mungkin juga dirasakan oleh yang lainnya, Saya sebut secara general, ya karena istiqomah ini bisa kemana-mana lah. Sebagai contoh ke istiqomahan untuk terus melaksanakan tarawih di mesjid, atau menyelesaikan alquran selama 30 hari penuh. Selalu ada naik tuurun “hajat” untuk melaksanakannya. Selain konteks ke istiqomahan dalam ibadah, juga bisa ke istiqomahan dalam pola makan, sempat dulu istiqomah untuk tidak terlalu banyak konsumsi manis2 saat berbuka, cuma bertahan 3 hari beruturut-turut, habis itu buyarlah sudah. Kunci dari permasalahan ketidak istiqomahan ini sendiri sebenarnya jawabannya bisadibalikinnl agi “ya harus dibulatkan tekad ISTIQOMAH-nya” menyebalkan memanfg solusinya, tapi saya ingin coba menggunakan metode latihan. Sesederhana saya mencoba pola istiqomah untuk menyetor 1 tulisan RWC ini setiap harinya. Apakah saya selalu gagal dalam per istiqomahan di bulan Ramadan? gk juga, Ramadan 2 tahun lalu setidaknya ada yang bisa diceritakan karena keistiqomahan yang bulat, bisa tuh menyelesaikan quran, dengan metode cicilan 4 halaman setelah salat fardhu. Apa mungkin karena udah nemu formula nya ya jadinya kayak udah tau pola nya untuk membangkinkan semangat.

Tantangan Ramadan kali ini pun juga bisa disebut, kalau Rustam sudah harus menemani orang tua nya yang dua-duanya sudah harus berpuasa, dibandingkan tahun lalu, Ibu Rustam masih menemani rustam untuk tidak berpuasa karena memang masih di masa emas-emasnya Rustam menyusu + MPASI. Atau jangan-jangan ini bukan tantangan ya, malah jadi solusi untuk melakukan penyapihan Rustam, mengingat 3 bulan lagi Rustam sudah memasuki usia untuk lepas ASI, jadi Ramadan ini seperti gradasi penurunan intensitas menyusu dengan gradian yang terjal?

Yaudah mari kita coba dulu, ini juga barangkali jadi latihan keistiqomahan buat kami sebagai orang tua sekaligus Rustam untuk mulai beralih.


Selamat berpuasa,
Hari pertama ,

Menteng, Jakarta Pusat
13:46

ENGLISH VERSION GENERATED WITH AI

I am no stranger to fasting, especially during the years 2013-2015, when the bald magician popularized the diet craze. I was okay with not eating for 23 hours, having one meal a day at noon, accompanied by drinks. In fact, I even used fasting as a tool to support my diet program, sticking to the principles of fasting and having only one meal at sunset during Ramadan. Furthermore, fasting has never been a hindrance for me to engage in physical activities. I often exercise in the morning after suhoor for 30 minutes, and run in the evening before breaking the fast, without significant issues. Thus, the physical challenge during Ramadan is not something that I struggle with.

In response to the title, the real challenge I face during Ramadan is consistency, which I believe is a common struggle for many people. Consistency can mean many things, such as consistently performing tarawih prayers at the mosque or completing the Quran in 30 days. There are always ups and downs, moments of wavering, and the temptation to give up. Consistency can also be applied to eating habits, such as reducing sugar intake during iftar. I know from experience that the key to overcoming inconsistency is to have a firm and unwavering determination to stay on track. It’s easier said than done, but I believe that practice can make perfect. That’s why I am trying to practice consistency by committing to write one RWC article every day during Ramadan. Have I failed to maintain consistency before? Of course, but I also have success stories to share, such as completing the Quran in Ramadan two years ago by reading four pages after each prayer. Perhaps I have found a formula that works for me and can help boost my motivation.

This Ramadan presents a new challenge for me, as I need to support my spouse who are fasting. Unlike last year when she was still breastfeeding and not fasting, this year, I must be there for both of them. It may not be a challenge after all, as it could be a solution for me to wean my son, Rustam, who is turning three months old soon. Thus, this Ramadan may be a gradual decrease in his milk intake, preparing him for the transition to formula.

So here I am, on the first day of Ramadan, ready to face the challenges ahead. Let’s see if my commitment to consistency can make a positive impact on my life and those around me.

Wishing you all a blessed Ramadan,

Menteng, Central Jakarta 13:46

Mencoba Lagi

Sebenarnya aneh atau tidak sih, mencoba memulai kembali apa yang saya rasa gagal atau angek2 cik ayam kegiatan yang ditekadkan di periode ramadan tahun lalu. Jadi tahun lalu itu sempat terpintas ingin membuat postingan berserial setiap hari sepanjang Ramadan. Semangat sangat menggebu2 di hari pertama https://mozaicofmo.wordpress.com/2022/04/02/1-30-swafoto-ramadan-pertama/ . Tapi apa mau dikata hanya bertahan 1 hari, karena baru sadar itu ternyata challenge untuk postingan instagram stories. Udah malas lah untuk melanjutkan, karena emang bukan tipe yang terlalu vokal di platform instagram tersebut.

Tahun ini, cerita mulai mirip, saya mendapatkan challenge mirip2 tapi ini jadi challenge yang seharusnya diharapkan di tahun lalu yaitu “menulis” setiap harinya di setiap Ramadan. Apa ya, selain ibadah saya coba untuk istiqamah dulu mengabil tantangan ini untuk jadi pelatihan otak dan nalar juga sih.

Bismillah Mari kita Mulai

1. What are some of the challenges you face during fasting month and how do you overcome them?

2. Write about your favorite traditional Ramadan dish and the memories associated with it.

3. Describe the spiritual benefits of fasting and how they affect your daily life.

4. Share your experience of breaking your fast with friends and family.

5. Write a letter to someone you have wronged, asking for forgiveness during this holy month.

6. What are some creative ways to make the most out of your time during Ramadan?

7. Write about the importance of giving charity during Ramadan.

8. Share your experience of attending a taraweeh prayer at the mosque.

9. Write about the importance of family gatherings during Ramadan and how they strengthen family ties.

10. Share your favorite Ramadan memory from childhood.

11. Describe the experience of attending an iftar party and the food served there.

12. What are some of the common misconceptions about fasting in Ramadan and how can they be corrected?

13. Share tips on how to stay healthy and energized during Ramadan.

14. Describe the atmosphere of a typical day in a Muslim-majority country during Ramadan.

15. Write about the significance of Laylatul Qadr and how to make the most of this night.

16. Share your experience of fasting while traveling and the challenges it presents.

17. Write a reflection on the value of mindfulness during Ramadan.

18. Share your experience of breaking your fast with a stranger and the lessons learned from the encounter.

19. Describe the experience of fasting during a pandemic and the changes it has brought to Ramadan.

20. Write about your experience fasting and what it means to you.

21. Discuss the health benefits of fasting and how it affects your body.

22. Write a reflection on how fasting impacts your spiritual life.

23. Create a recipe for a delicious iftar meal.

24. Share your thoughts on how to maintain good habits after Ramadan.

25. Write about the challenges of fasting and how to overcome them.

26. Write a letter to yourself, reflecting on your spiritual growth during Ramadan.

27. Write a reflection on how Ramadan has impacted your relationship with Allah.

28. Discuss the importance of patience and perseverance during Ramadan.

29. Write a story about a person who overcomes a personal challenge during Ramadan.

30. Write a reflection on the blessings of Ramadan and how they inspire gratitude


Koleksi Empat

Kenapa perasaan ingin membuka laman kosong putih ini dan lalu diketik sehingga menghasilkan beberapa kalimat itu muncul semakin meningkat dikarenakan berada di suatu tempat : Ruang Rawat Inap Rumah sakit? Perasaan ini semakin membuai ketika merasakaannya bertepatan dengan moment penghujung tahun. Jikalau khalayak menjadikan momen akhir tahun sebagai momen rekapitulasi kejadian-kejadian dari awal tahun, mungkin secara pribadi pantas pula saya membuat rekapitulasi khusus bahwa ini kali ke 4 saya berada di ruang rawat ini selama tahun ini. Entah apa pula ini dijadikan bahan rekapitulasi, apalagi diikuti dengan koleksi gelang pasien rawat inap serta bantalan tangan untuk infus.

Sungguh tahun yang penuh naik turun akan perasaan takut kehilangan, ingin bersama, serta perasaan khawatiran yang bercampur dengan ketidakpastian. Tentunya naik turun ini tidak hanya dikarenakan keluar masuk rumah sakit, banyak memang tapi cukup ini yang saya bisa abadikan dahulu dalam bentuk tulisan.

sedikit saya berbagi pemandangan di sebelah dan di depan saya di kali ke empat saya menulis di rumah sakit

Semoga tahun depan tak ada koleksi seperti ini lagi