Dibanding-banding ke?

Tidak satu atau dua kali saya melihat orang yang berada di circle saya dan juga yang menetap di singapura mengunggah perihal HOUSEWARMING. Mereka acap kali mengadakan tradisi housewarming ini mungkin untuk teman indonesianya yang juga menetap di SG ataupun teman di indonesia yang sedang singgah atau berwisata di neagara tesebut. Wabil khusus untuk golongan ke dua, hal ini semakin sering saya lihat semenjak ssingapura sudah membuka border negaranya dan menghapus restriksi berpergian, sontak ya otomatis singapura jadi destinasi jalan jalan ke luar negeri orang2 indonesia terdekat termurah dan “propser” bagi yang menyukai keteraturan perkotaaan dan mungkin shopping. Jadi ramailah mereka ke singapura dan menyempatkan mencari temannya yang sudah menetap di sana bahkan juga ada yang udah dapetin permanent residence. Apa istimewanya? sampai saya bela2 in menulis tentang topik ini menjelang tengah malam? Jawaban sederhana : ya karena itu Singapura, mereka berkunjung ke rumah orang indonesia yang tinggal di Singapura; mendapatkan visa kerja/visa belajar di singapura; dan mereka membangun keluarga kecil nya di singapura; serta ‘IT IS HDB BROO!” .

Saya pernah bercuit bahwa harfiah manusia itu pasti akan membanding-bandingkan, minimal dengan dirinya sendiri, jadi lagu yang lagi ngetrend sekarang yang dinyanyikan di depan indonesia 1 itu kayak kesannya maksa aja. So , ya melihat kegiatan itu tentu saya berkhayal, betapa indahnya mereka membangun keluarga kecil di negeri sana, tinggal bukan di rumah tapak tapi di rumah semi apartemen (HDB) yang layak secara fungsi ruang dan dimensi sehingga tidak sungkan untuk menyambut tamu rekan2 nya yang dari indonesia, sekalian ber housewarming. Lalu juga berfikir-fikir, mereka pasti berupaya besar dan gigih selama ini sehingga : bisa mendapatkan visa tinggal/kerja/belajar lalu bisa menyewa HDB serta cukup secara materi sehingga berani hidup berumah tangga dengan nuclear family nya di sana. Selanjutnya berkhayal, betapa indah nya keteraturan yang mereka alami setiap harinya, pasti bangun pagi, menyempatkan beraktivitas fisik sebelum jam kerja di sekitar HDB tentunya dengan fasilitas yang memadai) lalu berangkat kerja ke stasiun terdekat dengan berjalan kaki, kereta yang nyaman dan gk penuh2 amat. selesai jam kerja masih sempat menkmati taman kota di jalan pulang ke HDB, begtu mungkin siklus pada weekday lalu barulah pada weekend menyusun to do list / to do visit, antara akan menyambut tamu siapakah di rumah, atau bereksplorasi ke sudut-sudut kota yang mana kira-kira, atau bagi yang sudah mempunyai anak, akan jalan2 ke child park/ atau museum mana kira-kira tanpa was was memikirkan mau naik apa biar anak merasa nyaman di perjalanan.

Dengan berandai2 dan berkhayal , serta berimajjinasi apa yang mereka lakukan selain apa yang mereka unggah di platform publik ya adalah bentuk pribadi saya membanding-bandingkan dengan apa yang saya lakukan bukan di tempat mereka, yang tentu saja secara suasana perkotaan drastis lah.
Kapan ya…

Doa Mau (untuk) Makan

ya Allah semoga ia ingin membuka mulut, lidahnya senantiasa ringan untuk mendistribusikan makanan di dalam mulut bukan mendorong kembali keluar mulut. Walau gigi belum formasi lengkap, beri kekuatan giginya untuk melebur makanan sehingga makanan lebih muda ditelan dan dicerna.

Ya allah ampunilah dosa kami, berikanlah keringanan dan kesanaran kepada kami untuk menjaga titipanMu.

Sisingamangaraja

Sore ini indah sekali momen yang kami nikmati.
Matahari pukul 4 sore hingga 5 sore begitu tegas cahaya nya, tegas membentuk bayangan dengan gradien yang berpadu. Kalau kata orang yang pengamat fotografi “golden moment” katanya. Momen ini kami nikmati di ruang terbuka hijau anyar di jakarta, anyar revitalisasi nya, sebenarnya sih udah lama ada itu taman. Yang saya senangi dari taman kota ini, walaupun terletak di tengah kota, tapi tidak ramai, malah memang tidak banyak dikunjungi orang tak seperti taman tebet. Hidden Gem? ya bisa dibilang seperti itu, apalagi jalan sisinga mangaraja yang kadang terkesan sepi karena ujung utara dan selatannya ada lampu lalu lintas yang seakan-akan jadi penahan arus laju kendaraan.
Sengaja meninggalkan visual ke posttingan WP ini. Karena memang menurut kami : Indah

Ada yang Hilang

Momen untuk menambah tulisan di blog ini memang harus ada pemantiknya, kali ini pemantiknya dari hal yang saya baca tak sengaja di lintas linimasa twitter. Tentang wujud pria dalam kesepian, bagiamana gejolak yang dihadapi dan crisis managementnya, bisa juga ditambahkan dengan respon orang di sekitar. Kalau mengutip dari Mba amelia ini, dia merasa sangat “relatbale” akan hal yang dirasakan suaminya saat ini. Tak punya teman yang menag beneran teman. yang “broo” , atau apalah orang menyebutnya yang berada 1 atau 2 level di atas kata “akrab” .

Tertegun memang sejanak , hingga saya menyelam ke bagian reply2an dan quote twitt nya, seperti tiba-tiba orang berlomba mengakui kalau mereka juga seperti, selayaknya postingan mba amelia ini jadi wadah bagi mereka untuk mengutarakan secara bersama akan apa yang mereka alami. Saya juga ikut “riding the wave” dengan twitt tersebut dengan memunculkan narasi

Saya mencoba menahan diri untuk tidak terlalu terbawa pada topik dan mengakui kalau tuit mbak nya juga relatable, dengna membawa narasi di atas. Maka dari itulah kemawasan diri itu saya limpahkan ke dalam tulisan ini. Tentang seberapa relatable topik ini ke kehidupan pribadi.

Pertanyaan ke diri sendiri tentang kapan terakhir kali merasakan hubungan pertemanan yang 1 atau 2 level di atas makna kata akrab itu? 14-16 tahun yang lalu , di zaman SMP. Masa masa indah memiliki grup pertemanan laki laki yang benar2 mengetahui isi dalam pikiran / rahasia yang sebelumnya di-keep untuk pribadi, atau tak mempunyai rasa saling sungkan saat berinteraksi. Indahnya. Lama sekali memang, bahkan periode tersebut seprti saya patenkan untuk dijadikan standar/tolak ukur di masa berikutnya. Bagaimana masa berikutnya sperti SMA dan Perkuliahan?

tak ada, tak sebanding, kosong, ada yang hilang.

Di masa berikutnya saya memang merasakan kehampaan mengenai pertemanan ini, sembari tetap menjaga hubungan dengan teman-teman di masa SMP. Biasanya kan ada pertanyaan evaluasi tentang “salah sendiri kenapa gk mau berteman lebih akrab dengna lingkungan baru?” saya bisa menjawab dengan tegas sebenarnya tidak menyesal juga dengan langkah yang saya ambil, sembari berbusuk hati diam diam melihat teman di circle SMP sudah memiliki circle pertemanan 2 level di atas akrab yang baru. Di masa perkuliahan juga seperti itu, saya tidak menemukan circle pertemanan diluar kuliah yang levelnya udah bisa hangkout di luar jam kuliah dalam waktu yang lama,, atau jalan2 roadtrip keluar kota, atau ya nongktong bareng di rumah/kos hingga waktu yang tidak ditentukan. Saya tidak merasakan hal hal itu.

Hidup yang penuh kebusukhatian akan orang orang yang memiliki circle pertemanan yang sangat erat ini memang mewarnai saya dari awal SMA hingga……..sekarang. Tidak Sekali dua kali saya merasa bertanya ke diri sendiri saat melihat unggahan2 orang yang saya kenal di sosmed tentang asyiknya pertemanan mereka : “kok saya tidak bisa seperti mereka?” “lah ini si itu? kok saya tak di ajak?” | “Wah asik ya , mereka masih keep in touch sampai sekarang?”

Kegundahan ini baru sekali saya utarakan ke teman tidur saya, dan dua kali dengna curahan di tulisan ini. Memang ada yang hilang sebenarnya dari diri saya jika dibandingkan jiwa saya sewaktu terhanyut dalam pertemanan zaman SMP, yang tak ada lagi dirasakan di SMA, perkuliahan, apalagi di dunia pasca kuliah.

Sedikit unggahan mengenang masa-masa pertemanan SMP

Biar tidak kelabu terus topik nya, saya mencoba selipkan momen2 kebahagiaan selama minggu lalu,
dengan merayakan genap 1 tahun saya menjadi Bapak, terima kasih sudah mengisi bagian yang hilang.




30 evolusi dan 1 kali rotasi

Saya terlambat satu hari untuk menulis nya. 1 hari dalam kalender tanggal tp sebenarnya hanya terlewat 5 menit (pada paragraf ini waktu menunjukkan 00:05).

Menulis sesuatu untuk dibaca kembali mungkin bukan belum menjadi kebutuhan sehingga belum ada jangka waktu tertentu untuk sehingga ini bisa disebut rutinitas. boleh lah ya kali ini saya punya tujuan itu di tulisan kali ini : untuk dibaca kembali. Tulisan yang ketika suatu hari saya buka dan melihat judul serta tanggal publikasinya memberikan informasi .dan reaksi “ooh ini pas lagi ini nih….!”

sepeti hari bias, dari pagi hingga sore hari. sedikit saya mengabadikan beberapa momen spagi-sore-malam

pagi ketika berjalan kaki di taman depan seperti banyak anak2 SD tahun akhir foto bersama,baru saya sadari oh iya ini penghujung tahun ajaran. mungkin akan berfoto untuk buku tahunan.
sore. titik temu lintas yang sudah jadi latar saya berlaju hampir setiap harinya selama 4 tahun lamanya. entah kenapa sore ini saya naik bus menuju titik ini dan mendapatkan momen langka dengan menangkap 2 bus berbeda bersilang arah.
malam. frame yang cukup umum, apalagi dengan kucing bersantai di dalamnya. sepintasengingatkan untuk segera beristirahat selekasnya

demikian. mungkin perlu satu lagi. agar visi tulisan ini makin memberikan efek . ini momen yang terabadikan. untuk pertama kalinya dalam hidup.. saya menselebrasikan evolusi bumi .bersama buah hati

Take Your Grieve

Betapa tidak enak rasanya menjalankan hidup diiming2in oleh ekspektasi, atau arti kata lain dimotivasi oleh harapan, jikalau apa yang diharapkan tidak terkabulkan. Dimotivasi dengan harapan kalau misal 2 bulan lagi akan ada business trip ke lokasi yang belum pernah dikunjungi di tempat nan jauh. Diiming2i dengan kedatangan kabar gembira pada waktu tertentu yang membuat setiap hari perlu mengecek kapan kedatangan kabar gembira itu tepatnya.

Jatuh sih, kalau semua semua sudah terlanjur termotivasi palsu dengan harapan, trus terjun jatuh..jauh. Setelah jatuh masih ada aftertaste nya yang sama sekali gk positif-positif banget. Jadi lah ya malas ngapa2in , kecuali cerita di tulisan ini dan cerita ke beberapa orang terdekat.
Setidak nya saya memberi tahukan kabar ini ke 1 orang yang membantu saya dalam materi, 1 orang yang menemani saya siang malam, 1 orang teman yang selalu jadi tempat cerita random, dan 1 rekan kerja yang memperlancar proses perizinan dan administrasi. Saat saya menceritakan penolakan ini ke salah satu dari mereka, ada yang juga menceritakan pengalamannya menerima kabar buruk penolakan, bahkan sampai 2 bulan enggak mau ngapa2in, bukan menghibur sih, tapi setidaknya perasaan yang sedang saya alami ini adalah hal lumrah dan manusiawi. Setidaknya saya bisa memvalidasi kalau mental saya masih terlalu lemah untuk mendengar kabar buruk, setidaknya sudah terhitung selama 1 jam dari waktu saya menerimanya.

Payah ya,
Kalau lag idi momen2 ini selain puk puk dari orang terdekat, harusnya bisa nemuin lagu yang bisa setidaknya menggerus efek aftertaste nya sih, aftertase : demotivasi, emang masih males ngapa2in.
Kalau takeaway yang saya dapat dari ntn series2 nya NBC, kalau tokoh nya kemalangan, pemeran pendukungnya permisif kepada tokoh utamanya untuk meluangkan waktu untuk berduka sejenak, masih ingat saya kutipan dialognya “IT IS OKAY FOR SOMEONE TO GRIEVE, TAKE YOUR GRIEVE.
Gitu kali ya pembenaran yang saya dokumentasikan di tulisan ini, yeah its my time to grieve!

Absurd Sekali

Dahulu, pernah percaya kalau sering mendokumentasikan mimpi pada tidur malam di pagi harinya dalam bentuk tulisan, akan mempermudah seseorang untuk ber-lucid dream. Jadi bisa tahu kalau ada saat tidur ketika bermimpi, kita tahu kalau itu hanya mimpi, jadi ya bahkan kita bisa mengontrol mimpi kita sendiri. Sehingga ibarat surga lah sepertinya, karena kita tahu itu mimpi, di mimpi tersebut kita bsa ngapain aja, mau punya super power, mau bisa terbang atau menyihir atau kalau jahat bisa menggunakan itu untuk mencelakakan orang yang bertemu di mimpi. Sampai dulu sempat downloa apps nya, seperti dream journal yang udah diformat untuk medokumentasikan mimpi per hari nya. Hasilnya? belum kesampean juga tuh punya keahlian itu.

Namun kali ini ingin sebenarnya mendokumentasikan mimpi malam tadi, bukan karena ingin kembali mendapatkan keahlian lucid dream ini. tapi ya karena se absurd itu mimpi semalam. Untuk mempermudah saya ingin mendetailkan scene – demi scene dalam bullet point saja

Setting : Saya tinggal dengan keluarga kecil di lembah bukit yang berhadapan dengan pantai.
Kejadian Pagi Hari sekitar 09:00

Scene 1 : DI dalam rumah, kulkas bergeser 20 cm ke arah depan, ternyata itu gempa
Scene 2 : Keluar rumah lihat pantai, wah air surut, tanda tanda tsunami
Scene 3: Bener udah terlihat gelombang awal yang akan semakin membesar ketika mendekati pesisir, sontak saya menyelamatkan anak ke lembah bukit yang lebih tinggi mengikuti istri di belakang
Scene 4 : Air menyapu perumahan di pesisir dan sebagian di lembah namun tak sampai menyapu rumah kami
Scene 5 : Terlihat sinyal hp sudah hilang, dan listrik udah padam (kejadian sekitar kira-kira pukul 9 Pagi)
Scene 6 : Di tempat yang lebih tinggi bersama dengan tetangga yang berhasil melarikan diri, sambil melihat after math keadaan di pesisir, hal yang absudr nya, keluarga vincent merupkan salah satu tetangga saya.
Scene 7 : Menghampiri keluarga vincenet yang saaat itu belum ada vincentnya karena masih syuting Vindes Sahur Nih Ye di pulau seberang (iya ceritanya gitu)
Scene 8 : Vincent balik , naik kapal setelah tsunami, dan berhasil ke lembah bagian atas bertemu keluarga, katanya di pulau nya dia gk ada tsunami
Scene 9 : Beberapa turis2 mancanegara dari pulau seberang berombongan naik kapal yang mereka sewa untuk ke pesisir di pulau tempat kami tinggal, munggkin pulau kami ini yang jadi pusat kegiatan/tempat menginap mereka walau terkena tsunami
Scene 10 : Ada beberapa rombongan dari pesisir memanggil saya, memberitahu kalau mereka menyelamatkan 1 anak laki laki.
Scene 11 : Lanjut ke rombongan turis2 dari pulau seberang, semakin banyak kapal carterannya berlabuh di pesisir yang masih dalam suasana aftermath tsunami tapi intinya mereka bisa berlabuh aja, beberapa di antara mereka bercerita kalau tidak menyadari ada tsunami , ketika diceritakan mereka panik
Secene 12 : di kejauhan mendekati pesisir terlihat kapal induk (atau kapal recue) berbedera amerika, memberikan pengumuman via toa kapal “please americans, evacuate, we will bring you home!”

Aneh