1/30 Swafoto Ramadan Pertama

Hingga umur SMA saya baru memahami bahwa pergantian tanggal di tahun qomariyah dengan tahun masehi itu berbeda momen, Malam 00:00 bukanlah tanggal bari di kalender qomariyah, kalender qomariyah dalam pergantian tanggal ternyata tak menjadikan waktu pada jam menjadi acuan, melainkan waktu tergelincir matahari. Jadi setelah mengetahui fakta ini saya langsung bertana-tanya dalam fikiran, kenapa acara tv waktu pergantian tahun hijriyah, ngitung mundurnya sama kayak pergantian tahun masehi? Masih ingat lah pas TV lagi zaman jaya jayanya, tahun baru hijriyah dibuatkan siaran langsung+panggung+artis-artis pengisi, lalu diikuti oleh kembang api pada pukul 00:00, ngapain? Apa mungkin karena tidak diberikan izin rame2 countdown menuju adzan magrib kah? atau kembang api nya masih belom terlihat sinarnya kalau dibakar sesaat setal hadzan magrib.

Terkait pergantian tanggal di kalender qomariyah ini, hari ini, 1 Ramadan setidaknya di Jakarta sudah berjalan selama 11 Jam kalau dihitung dari sunset magrib lalu. Saya sudah sahur dengan oat campur toping pisang. Malam sebelumnya saya sudah tarawih di mesjid yang diambil dari nama perempuan.
Ramadan kali ini saya ingin menggunakan tema “Consistency and Durability” , mengusung tema ini, sudah berhitung, ada peran baru pada ramadan ini yang yang saya alami untuk pertama kali, yaitu sebagai bapak orang,. Dari ini saya berharap konsisten agar amalan dan rutinitas yang produktif salama ramadan dapat terjaga dengan ketahanan/durability yang prima. Harapan yang sama pada foto di bawah, semoga ramadan ini saya bisa mengikuti tantangan menulis ini, saya usahakan menulis diantara jam imsak – adzan subuh sembari menunggu Arah bangun.

Eh topik pertama harus berswafoto? baiklah

ini
di mesid yang baru

Penyelam Goa

12 Menit lalu saya baru menamatkan produk dokumenter terbarunya natgeo, hal ini perlu saya tuliskan karena effort saya yang tidak biasanya untuk bisa menonton film ini, karena harus bela-belain langganan platform lagi yang mungkin terpakai cuma untuk nonton film dokumenter itu aja.

kalau masih ingat peristiwa penyelamatan gua besar-besaran di 2018 yang lalu, “thai-cave-boys” gitu lah search kewords nya yang paling sering digunakan di situs pencarian. Saya sih 2 bulan hingga 5 bulan pasca kejadian selalu mengikuti berita-berita hingga beberapa stasiun tv berita buatin reportase dokumenternya, ABC, BBC, CNN, sempat juga discovery channel, dan CNA. Jadi sudah cukup hafal runutan kejadian, konflik dan berbagai macam metode storytelling yang dibawakan di masing-masing reportase/dokumenter nya. Namun, produk natgeo ini patut saya garis bawahi, dan tegaskan, ini berbeda! Beberapa footage yang saya kira selama ini sengaja disimpan sampe gk dikasih ke media, perdana tayang di Natgeo. Beberapa hal yang saya sebatas tahu kerak-kerakna saja, jadi tervisualisasikan lebih detail oleh natgeo. Silahkan tonton lah, saya tidak akan menceritakan adegan demi adegan di tulisan ini.

Lalu? Ya, saya ingin share aftertaste nya setidaknya, dan mungkin sedikit merelasikan dengan apa yang baru saja mulai alami, dan ini malam pertama. Kalau saa ada-adain terminologi bahasa inggrisnya seperti ini : Art of doing it independently based on your own reaction and instinct. Layaknya penyelam goa di dokumenter tersebut, sendiri, sunyi, dan punya misi yang baru pertama kali dialami. Bagi beberapa orang menganalogikan nya dengan apa yang saya sedang kerjakan sekarang mungkin dianggap sangatlah berlebihan. Masa bandingin misi si penyelam goa disamakan dengan seorang Bapak 1 anak yang ditinggal dinas keluar kota oleh istrinya.Istrinya atau ibu dari anak nya yang senantiasa harus minum susu langsung dari ibunya sebagai syarat tunggal untuk mengantar anak ke alam mimpi. YES, lebay gk? saya sih menganggap ini amanah besar sekaligus mission (most likely) impossible. Bagaimana mungkin saya bisa menjadi pengganti si ibu untuk menyusui langsung di malam hari agar si anak tidur?

Sialnya juga saya tidak melakukan simulasi secara penuh untuk bisa mengatasi peristiwa peristiwa yang sebenarnya sudah terprediksi. Walau sudah ada teknologi asi perah, kulkas, cooler bag, dan heater, saya belum tahu apakah ASI yang diminum dari botol di malam hari akan menjadi subtitusi yang sepadan dengna menyusi langsung. Pertanyaan berikutnya, bagaimana kalu itu tidak mempan, sehingga si anak tidak bisa tidur, apakah cara yang dilakukan di siang hari untuk menidurkannya bekerja di malam hari? Apakah mungkin akan terjadi worst-case- scenario yaitu : saya dan si anak tidak bisa tidur dengan baik di malam hari. Waduh. Jika ingin menganalogikan lagi, ya ini perasaan yang dialami si penyelam goa ,ketika menemukan thai-cave-boys, namun tidak tahu bagaimana cara mengeluarkannya keluar goa.

Bismillah deh, toh ini baru malam pertama, kalau di film dokumenter itu, mereka sih akan menemukan solusi seiring berjalan nya hari, sehingga proses penyelamatan bisa dicicil dan akhirnya sukses.


Jakarta, 27 Maret 2022, 0058, bertepatan juga dengan 2 tahun ibadah panjang ini berdurasi.
BIsmillah

Seperti di sana

Saya suka kawasan perumahan sekitar sini, apalagi disaat pagi cerah. susunan bangunan yang rapat dengan jalan yang tak begitu lebar. bahkan mobil kalau bersapa hadapan harus bergilir.

Hal diatas akan semakin terlihat ketika berhasil mengambil gambar yang tak ada unsur sepeda motor,atau tak sengaja ada orang sedang bersepeda di dalam frame. Apalagi jika aparat disini berhasil menertibkan kabel internet listrik dan telefon.

“seperti jepang ya” agak maksa tp kadang benar adanya jika komposisinya pas

Kalau di posisi penindas

Oh jadi begitu ya rasanya di pihak yang terlihat menindas, tapi nyatanya dikeroyok dari belakang , Dalam dua minggu belakangan ini merasakan hal seperti ini, saya jadi bisa mengira ngira gimana rasanya jadi jepang/belanda ditengah sedari kecil selalu dicangkok dengan persepktif menjadi bangsa yang tertindas, Indonesia. Bukan, ini bukan tulisan yang menyatakan sikap atas apa yang terjadi di eropa timur saat ini, bukan untuk mendeklarasikan saya mendukung ini dan saya menghujat itu. Tapi jadi “oh gitu ya” momen ketika mencoba melihatnya dari yang terlihat menindas, tuh kan diulang lagi term itu.

Selanjutnya saya akan terus mencermati perkembangan dan eskalasi hari demi hari, rasanya waktu diatanra tertidur dan bangun subuh akan melewatkan banyak sekali perihal dan kejadian di sana, maka dari itu waktu setelah ibadah subuh saat ini memang banyak dihabiskan dengan melihat source2 yang sekiranya sedikit kaitannya dengan media – media barat. Sempat bahkan bergeming 3 malam yang lalu “ini perlu tidur gk nih, ntar melewatan inisiasi perang nuklir” , entah apa apa aja, bergeming udah kek ibarat menentukan sikap perlu ntn live bola atau lihat highlight nya saja. Entah apa yang terjadi nanti dalam 10 hari ke depan, 1 bulan ke depan , atau hingga akhir tahun. Boleh nebak nebak lagi gk ya? tapi gk etis lah ya, cukup simpan saja. Kemungkinan itu pasti ada, bisa juga 1 dari 10 tebakan saya kejadian, secara pribadi sangat obvious sih kalau sampe kejadian, bisa excited , ASAL gk kebawa apes nya aja disini, seperti joblost, live lost, atau homeless.

Sudah lah mari berbagi momen saja, kemaren saya baru saja meluangkan waktu untuk berpergian dengan Arah, berdua saja, tanpa ibuk nya,


Khawatir yang Menuju Penuh

Hidup penuh kekhawatiran
Hidup penuh ke-fluktuatif-an niat dalam berkarya
Hidup juga penuh pengakuan atas ketidak pastian yang dianggap tak terlalu mengkhawatirkan

Jika ditanya apa yang ditakutkan saat ini ialah, ketidak cakapan saya dalam menyusun ide dan gagasan dalam bentuk tulisan, karena kurang latihan, mungkin juga karena ketakutan yang terlalu besar jadi setiap akan memulai bawaannya selalu penuh kekhawatiran. Ketakutan ini lah yang terus merembet jikalanya harus dihadapi hal hal yang berkaitan dengan menulis seperti dalam bekerja atau yang lebih ekstrim lagi yaitu perihal untuk bersekolah kembali. Kenapa? ya karena saya lebih mengkhawatirkan tugas tugas yang harus diselesaikan dengan menulis, apalagi untuk bagian syarat kelulusan : tesis. Karena sadarnya dengan apa yang saya takuti saat ini, 3 kalimat pengawal tulisan ini terus berputar disaat tak memikirkan apa apa.

Apakah ini krisis kepercayaan diri yang datang kembali? Saking takutny, saya selalu terbawa mimpi, yang mimpi tersebut saya kategorikan menjadi mimpi yang buruk , seperti : Bedara diposisi sedang sekolah master tapi tesis tidak selesai selesai , atau tidak tahu akan menulis tesis apa, hingga hal tersebut membuat saya acap kali terbangun dari mimpi dan lansung bernafas lega ketika langsung menyadari itu hanya mimpi.

Apakah ini ketidak percayaandiri yang berevolusi menjadi kebencian, kebencian akan hal yang bernama tulis menulis apalagi perihal akademik. asal tahu saja, 1 jam sebelum saya membuat tulisan ini , saya stuck ber puluh puluh menit hanya untuk mengkonsepkan surat resmi yang ditujukan untuk menteri. “ini pas gak ya?” “aduh ini redundan dengan paragraf sebelumnyagak ya?” . “ah ngapain berpanjang-panjang toh mereka hanya baca judul”. Serem lah pokoknya

Kapan ya kekhawatiran ini menghilang…

Pagi 4 Babak

Dua minggu kebelakang ini merasakan pagi yang tidak begitu fresh (pengecualian untuk hari libur dan akhir pekan), punggung, kaki, pergelangan tangan dan lengan berasa habi bangun tidur sore. Hampa dan memang jadi malas bergerak. Ngomong ngomong pagi, saya merasakan adanya pergeseran aktivitas pagi, yang saya kelompokkan menjadi 4 babak,

Babak 1 : SD hingga SMA, aktivitas pagi setelah subuh, tak ada jeda, jam 5 pagi hingga jam 7 sudah berpindah tempat dan menempuh perjalana sekitar 8 kiloan, Perjalanan berangkat sekolah senantiasa dihiasi oleh pergerakan kawanan burung dari selatan ke utara, ditambah dengan langit pagi jingga kemerahan. Ah banyak lah yang bisa diceritakan, gk cukup untuk deskripsi di 1 babak ini

Babak 2 : Peguruan tinggi, babak dimana pola yang tercipta selama 9 tahun, amburadul. tidak pernah sekalipun dari subuh lanjut beraktivitas, pasti ada jeda, yaitu tidur, (ini kecuali hari libur dan minggu ya) apalagi kalau tidak ada kuliah atau baru masuk kuliah siang

Babak 3 : Bujang salarymen, lebih seperti mix antara babak 1 dan 2, bangun subuh tidak sepagi itu, kadan ada light sleep pula 20-30 menit, baru berangkat berkomuter sekitar pukul 7. Walaupun harus berkomuter kira2 20 kilo dalam sekali perjalanan. Pagi di masa-masa ini cukup berkesan, bertemu banyak tipe2 warga, tak habis ide juga dengan menikmati dan menghabiskan waktu di kereta. pagi.

Babak 4 : Tidak bujang namun tetap salaryman. Pagi yang ini memang seperti chapter baru sekaligus pembaharuan. Kadang menetap di tengah kota, bangun pagi di weekday bisa diselingin dengan aktifitas olah raga pagi, sebelum bergawe. Momen pejalan bergawe pun tak melulu harus naik kereta, kini sudah bisa dengan bergayuh sepeda.

Bukan Perhitungan

Sempat terpikirkah, bagaimana orantua dulu merencanakan finansial untuk sekolah anaknya, kenapa kok saya melihat perencanaan finansial sekolah dan pendidikan anak itu jadi seperti hal yang harus sangat diantisipasi dari sebelum punya anak, sampai ada produk dalam tabungan pendidikan/reksadana pendidikan/asuransinya sendiri untuk topik ini. Dipantik lagi dengan pernyataan “anak itu maha, kalau gk siap gk usah punya anak atau nambah”. Jadi emang khusus untuk biaya pendidikan anak ke depannya ini harus direncanakan dan diurus dengan serius.

Sebenarnya hal itulah yang ingin saya tanyakan sendiri, apakah hal yang kakyak gini-gini muncul karena trendnya mensekolahkan anak di tempat yang disubsidi penuh oleh pemerintah tidak menjadi pilihan lagi, bahkan sudah tidak masuk hitungan, sudah tau lah kita sekolah di sekolah negeri sekarang bahkan sudah tidak boleh memungut biaya SPP ke siswa. saya masih ingat dulu saya ada SPP untuk SD yaitu Rp 6500 sebulan, hitungan yang mungkin sangat terjangkau jika melihat pendapatan orang tua, 1/200 – 1/400 gaji lah pada saat itu. Sekarang? sirkel pertemanan yang saya punya hampir tidak ada yang mensekolahkan anaknya ke negeri, bahkan ada ynag mensekolahkan anaknya ke sekolah2 yang udah sama biaya bulannnya kek tiket PP jakarta – tokyo (tiket PP padang jakarta sewaktu saya SD keknya 750 ribu) . Jadi suatu hal yang sepertinya pdapat dipertanyakan lagi, apakah ini bentuk gk percaya ama pemerintah untuk menyekolahkan anak nya di sekolah negeri, kenapa mau bela – bela haru sekolahin anak di swasta? Pertanyaan ini juga didukung dengan penguatan dari pengalaman pribadi : “Toh saya dari kecil juga di Negeri kok, dan jadi jadi aja kayak sekarang, setidaknya bisa berpenghasilan dan bisa bersaing ama yang dari kecil di sekolah2 swasta nan mahal”. Beda zaman katanya, itu beberapa argumen ynag saya dapatkan, jangan samakan apa yang kita alami dengan yang akan kita alami dengan anak nantinya, tuntutan globalisasi? ato degradasi kualitas sekolah pemerintah? sebegitu downgradekah pemerintah menyusun kurikulum dan KPI?

Mungkin masa masa ini akan datang 4 atau 5 tahun lagi dari sekarang, secara pribadi dan juga berdiskusi dengan pasangan belum sampai ke sebuah keputusan mau seperti apa sekolah anak nantinya, mau menabung sebanyak apa setiap bulannya khusus untuk sekolah anak nantinya, atau mau santai2 aja dulu pun toh selagi indonesia masih ada, masih ada sekolah negeri yang tak berbayar (ada sih bayar kebutuhan seperti seragam/ peralatan, tapi gk sampe harus SPP seharga tiket euro trip sebulannya)

apakah saya terlalu perhitungan hingga menuliskan uneg-uneg ini? ato ini bentuk saya mempertanyakan, ada apa dengan sekarang? disaat orang tak lagi mempecayakan ke lembaga negara resmi untuk pendidikan. dan sudah sangat permisif bahwa biaya sekolah anak itu memang mahal adanya, yang gratis gk berkualitas.

“gk papa lah itu kan pilihan, tergantung orang tua mau menjadikan nya seperti apa, kembali kediri masing2” huft benci sekali lah saya kalo ditutup kek gini argumen2 di atas

Sebelum Menguap

Ingin sekali sebenarnya saya mengisi tulisan-tulisan di medium ini dengan memori-meori ynag tidak sempat saya dokumentasikan selama saya di sekolah dasar dan masa di awal-awal sekolah menengah. Keinginan ini mungkin juga didukung karena absen nya dokumentasi gambar yang saya miliki dikarenakan tak ada kepunyaan alat untuk mengabadikannya, saya tidak punya tustel keluarga semenjak pindah dari Bandung ke Padang (1996), extended family di Padang saat itu juga memang tidak ada yang bisa meminjamkan. Tidak fair memang membandingkan nya dengan masa kini atas kemudahan akses dalam pengabadian kenangan dan peristiwa.

Jadi, untuk merawat hal tersebut, resolusi yang saya dapatkan dengan menuliskan beberapa hal yang terjadi pada saat itu dalam bentuk tulisan sempat menjadi wacana berkepanjangan hingga pecah telor saya berhasil mendokumentasikan cerita mengnai kegilaan saya terhadap bandara di waktu SD, saya pernah cerita di sini. Ya , gk wacana wacana amatlah, tapi memang akan jadi super wacana kala uisi tulisan ini cuma mengungkit2 tulisan yang udah ada walaupun baru cuma satu. Saya ingin sekali menuliskan hal hal sederhana lainnya, seperti bagaimana hubungan saya dengan ojek pangkalan di simpang masuk perumahan saya, yang selalu nyinyirin saya tak mau naik ojek karena memilih untuk berjalan kaki saja, dari ongkos nya 500 rupiah , hingga 2000 rupiah di tahun-tahun terakhir saya di padang, itu jumlah uang yang selalu saya hindari untuk dihabiskan hanya menolak berjalan kaki sejauh 750 meter ke depan rumah. atau saya juga ingin sekali mendetailkan tempat – tempat yang saya kunjungi setelah pulang sekolah yang secara tidak sadar menjadi rutinitas berpola. Selanjutnya saya bisa membuat klasifikasi jenis jenis abang stokar bis kot lengkap dengna kelakuannya meminta ongkos ke penumpang, cara catcalling siswi-siswi, atau tips menghindari dari dimintai ongkos.

Banyak memang, berharap ini tak menguap dahulu sebelum semuanya dijewantahkan ke dalam bentuk tulisan. Bukan untuk siapa siap ajuga sih, atau bukan dibaca sebanyak2nya. Setidaknya sudah mendapatkan momen of zen lah ya, ketika semua yang masih ada dalam pikiran itu dapat diabadikan dalam tulisan. Semoga semoga lah ya, anggap post ini sebagai alfatihah untuk tulisan tulisan selanjutnya

sengaja pakai foto ini, karena foto inilah yang dijadiakn thumnail untuk alamat wordpress ini, difoto tahun 2006

Waktu Gigih

Tentang kegigihan dan kerja keras, sekali ini saya ingin membuat ini terdokumentasi dalam tulisan, entah kenapa ini timbul niat beakangan ini, semoga ini bukan bentuk pembenaran ataupun self-claim. Menjadi tahu atas perkembangan pribadi orang lain yang disekitar secara lebih personal mungkin menjadi privilese hidup di zaman sekarang. Terbayang di zaman orang tua, sangat kecil kemungkinan orang tua saya tahu gimana putar balik nya teman sekolahnya mendapatkan beasiswa jauh di global north, mendapatkan pengakuan karir yang cemerlang, ataupun berhasil membangun usaha secara cepat, mungkin harus temen dekat banget yang bener2 dapat cerita perjuangan atas keberhasilan. Privilise yang saya maksud yaitu : pempublikasian dan pendokumentasian kegigihan dan keberhasilan dibuat lebih terjangkau dalam berbagai platform dan perantara, LINKEDIN salah satunya, sangat gampang saat ini mempublikasikan keberhasilan dan capaian yang dimaksud di atas hanya dengan buat tulisan2 50-100 kata plus foto sebagai pemanis, say it : lulus kuliah master/doktoral, pindah ke kantor yang kerjaan nya lebih oke, naik pangkat dan lainnya,

Gk fair juga kalau hanya berkomentar dengan “ah itu lagi hoki aja, ah pasti dibantu itu ama faktor lain” . Kegigihan dan kerja keras lah yang pasti juga berkontribusi besar untuk capaian-capaian tersebut. Overthinking ini lah yang membawa saya ke pertanyaan : Kapan terakhir kali melakukan hal yang dengan “kerja keras” dan kapan terakhir merasakan momen dimana menilai diri sendiri gigih banget untuk dapetin itu. overthinking karena sudah lama tak merasakan adrenaline itu, apalagi dalam konteks pengembangan diri/capaian materi/ ataupun prestasi karir. Mungkin sudah lama lebih dari, hampir satu setengah dekade yang lalu bahkan, disaat masih dengan semangat banting tulangnya bahas soal SPMB sebelum subuh, hingga jam 6 , lalu berangkat sekolah, bahas soal lagi, disambung malamnya hingga tengah malam, disaat teman2 sepantaran masih belom tau mau kuliah apa, masih nganggap soal spmb itu selevel kesulitannya ama UN dll. Sudah lama sekali ya……….

Hal ini bisa saja saya bawa ke dua persepektif. Mungkin saya yang sebenarnya kufur nikmat, mungkin aja ya,, mungkin nih ya, yang saya lakukan saat ini dianggap capaian yang luar biasa oleh orang-orang sekitar dan saya yang terlalu “iri” dan terganggu dengan cerita ccerita capaian sekitar. Kadang saya juga pernah pakai sebuah pepatah sebagai pembenaran ” this is not a race, everyone has its own pace” . dan pepatah ini dilengkap dengan aftertaste setelah menonton videonya Bago di sini https://www.youtube.com/watch?v=X6gsC7IVYhA

Gundah? saat ini mungkin belum bisa terjawab, namun setidaknya kegundahan ini sudah terdokumentasikan

demikian,
Sedikit berbagi, hari ini kembali lagi ke mode 3 screen on dan mecoba menyelesaikan tulisan ala ala di tokokopi ber internet dengan memesan menu termurah (15k)